Setiap proses demokrasi yang berlangsung di Indonesia selalu meninggalkan sengketa dikemudian hari. Sengketa yang dimulai dari penentuan calon pilihan, persiapan pemilihan, proses pemilihan, sampai hasil akhir pemilihan. Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra menyatakan bahwa sengketa pemilihan umum kepala daerah sebaiknya tetap ditangani oleh Mahkamah Konstitusi (MK).


“Kalau sekarang ada wacana untuk mengembalikan wewenang pada Pengadilan Tinggi, coba dikembalikan dulu pada pertimbangan kenapa dulu masalah ini ditarik ke MK,” kata Saldi saat dihubungi Tempo, Senin (19/7) pagi.

Menurut Saldi, pada 2008 saat penanganan terhadap sengketa Pemilu Kepala Daerah dibawa ke MK, alasannya adalah karena penanganan di Pengadilan Tinggi terlalu dekat dengan pihak-pihak berperkara sehingga tekanannya terlalu kuat. Alhasil, banyak putusan bermasalah. “Masalah teratasi saat penanganan dilakukan oleh MK,” ujarnya.

Selain itu, menurut Saldi secara konstitusional penanganan sengketa Pemilu memang menjadi kewenangan MK. “Pemilu kepala daerah merupakan bagian dari Pemilu, jadi penanganannya tidak bisadilakukan oleh lembaga di bawah MK,” tuturnya.

Saldi juga menyatakan bahwa jika yang menjadi pertimbangan Menteri Dalam Negeri untuk mengembalikan penanganan sengketa emilu Kepala Daerah adalah biaya, hal itu bisa diatasi dengan memanfaatkan teknologi. “MK kan mempunyai fasilitas video conference di semua provinsi, Itu bisa dimanfaatkan untuk menekan biaya,” kata dia.

Sedangkan terjadinya penumpukan perkara Pemilu kepala daerah di MK, menurut Saldi, bisa ditekan dengan memberlakukan pembatasan perkara. “Misalnya kalau selisih antar calon kurang dari 5 persen maka tidak boleh diperkarakan lagi di MK, kecuali ada bukti politik uang atau teror yang massive,” tuturnya.

Hal-hal inilah yang menurut Saldi bisa ditambahkan jika Undang-undang Pemilihan Umum kelak direvisi. Namun penanganan sengketa Pemilu kepala daerah menurutnya sebisa mungkin tetap pada MK. “Selama ini di MK putusannya saya lihat cukup adil, karena jauh dari intervensi.”

Sebelum 2008, sengketa pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kotamadya (sekarang kota) diadili di Pengadilan Tinggi. Sedangkan perkara pemilihan gubernur ditangani oleh Mahkamah Agung. Pada 2008, kewenangan itu pindah ke Mahkamah Konstitusi.

Belakangan, dalam rapat dengar pendapat Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, muncul wacana untuk mengembalikannya ke mekanisme sebelum 2008. Alasannya, untuk menghemat biaya dan waktu calon kepala daerah yang berperkara


Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi dalam doktrin Manipol USDEK disebut pula sebagai demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi kemudian dalam doktrin repelita yang berada dibawah pimpinan komando Bapak Pembangunan arah rencana pembangunan daripada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau pengambilan keputusan, terutama dalam lembaga-lembaga negara (Wikipedia, 2010).

Prinsip dalam demokrasi Pancasila sedikit berbeda dengan prinsip demokrasi secara universal. Ciri demokrasi Pancasila :

    * pemerintah dijalankan berdasarkan konstitusi
    * adanya pemilu secara berkesinambungan
    * adanya peran-peran kelompok kepentingan
    * adanya penghargaan atas HAM serta perlindungan hak minoritas.
    * Demokrasi Pancasila merupakan kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah.
    * Ide-ide yang paling baik akan diterima, bukan berdasarkan suara terbanyak.

Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar 1945. Sebagai demokrasi pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.

Demokrasi Pancasila itu bukan memaksakan kehendak dengan pengerahan masa yang anarkis, tetapi Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Artinya kehendak rakyat yang dimusyawarahkan oleh perwakilannya dengan menggunakan kebijaksanaan pengetahuan dan nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang dilandasi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa (Takwa), sehingga melahirkan hikmah yang diharapkan menjadi solusi bagi kehendak itu. Dan hikmah itu boleh jadi mengakomodasi, menolak, memberi jalan yang lain, atau mungkin berupa jalan tengah.

Jika kehendak itu diejawantahkan dengan pengerahan masa anarkis yang memaksakan kehendak dengan mengatas namakan Demokrasi seperti yang kita lihat pada beberapa kasus Pilkada dan lain sebagainya, maka tindakan seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan nilai Demokrasi Pancasila. Bahkan kalau mau kaku dalam menafsirkan sila ke-4 Pancasila ini, maka bentuk pengerahan masa bukan merupakan bentuk Demokrasi yang dikehendaki oleh Pancasila. Tapi barangkali kita tidak akan sekaku itu, Kaum Demokrat Pncasialis sepakat tentang bolehnya pengerahan masa sepanjang tidak memaksakan kehendak, melenyapkan nilai-nilai Pancasila lainnya, dan ditindaklanjuti dengan permusyawaratan perwakilan dengan menggunakan kebijakan dan bukan otot.

Demontrasi yang anarkis, perwakilan rakyat yang bermusyawarah dengan menggunakan otot dan bukan kebijakan ilmu dan nilai sudah keluar dari Demokrasi ala Pancasila. Mereka harusnya disadarkan dan kalau mungkin dicegah. Mereka harusnya ingat bahwa berdemokrasi di Indonesia itu tidak boleh menggunakan bentuk amal Demokrasi yang tidak sesuai dengan Pancasila.

Sengketa itu selesaikan saja di Pengadilan. Keinginan itu sampaikan saja melalu perwakilannya. Dan Pemerintah ataupun Perwakilan Rakyat, seyogyanya memiliki kemampuan untuk tanggap terhadap aspirasi dan gejolak rakyat. Alangkah hebatnya Pemerintah dan Perwakilan Rakyat jika dapat sigap mengambil berbagai kebijakan yang membuat aspirasi rakyat tidak berbuntut pengerahan masa. Kalaupun tidak bisa, minimal dapat mencegah agar pengerahan masa itu tidak berubah menjadi anarkis.


Berdasarkan kebijakan ET (electoral threshold) dan PT (parliamentary threshold) pada partai peserta pamilu, maka diperkirakan dari 44 partai politik yang telah berjuang pada pemilu 2009 akan tersisa 9 partai politik saja yang mengikuti pemilu 2014. Kesembilan partai politik tersebut adalah mereka yang memperoleh 3% suara secara nasional (ET) dan memiliki 2,5% kursi di DPR-RI (PT).
Berdasarkan hasil pemilu 2009 yang lalu, maka diperkirakan kesembilan partai tersebut adalah Partai Demokrat (148 kursi), Golkar (106 kursi), PDIP (94 kursi), PKS (57 kursi), PAN (46 kursi), PPP (38 kursi), PKB (28 kursi), Gerindra (26 kursi), dan Hanura (17 kursi).





Partai Demokrat


Partai Golkar



Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan




Partai Keadilan Sejahtera




Partai Amanat Nasional




Partai Persatuan Pembangunan



Partai Kebangkitan Bangsa



Partai Gerakan Indonesia Raya



Partai Hati Nurani Rakyat


Setiap partai di Indonesia tentunya memiliki klasifikasi tersendiri atas para konstituennya. Namun secara umum, mereka membagi konstituen dalam 2 klasifikasi, yaitu kader dan simpatisan. Kader pada umumnya adalah mereka yang telah mendaftarkan diri secara sukarela menjadi anggota dan bersedia bekerja membantu kesuksesan partai. Bantuan yang umum diberikan adalah dalam bentuk keterlibatan dalam kepengurusan partai. Sementara simpatisan adalah mereka yang sekedar memberikan dukungan atas visi dan misi partai, namun tidak bersedia mambantu secara langsung atas kemenangan partai tersebut.

Namun tentunya, partai-partai yang ada tidaklah bersih dari dosa. Oleh sebab itu, setiap orang, baik simpatisan maupun kader harus mampu memberikan kritikan konstruktif pada partai yang dipilihnya. Setidaknya, ada 1 dosa dari partai politik dalam sistem demokrasi Indonesia.

Al Chaidar, Pengajar Ilmu Politik pada Universitas Malikussaleh Lhokseumawe ini menilai, kemampuan laki-laki dan perempuan dalam berpolitik praktis cenderung sama. Bahkan, perempuan lebih amanah dibanding laki-laki. “Soal apa pun biasanya perempuan lebih amanah. Hasil riset Muhammad Yunus, pemenang nobel bidang pemberdayaan ekonomi, menyebutkan, perempuan lebih rajin mengembalikan pinjaman uang pada Gramen Bank yang dipimpin Yunus. Ini jelas menunjukkan bahwa perempuan lebih jujur. Laki-laki belum tentu amanah,” kata Chaidar.

2.


Draft Undang-undang (UU) Tembakau yang telah ditetapkan oleh pemerintah bersama DPR ternyata meninggalkan masalah setelahnya. Hal ini pertama kali diamati oleh anggota Fraksi Demokrat. Beliau mengamati terjadinya penghilangan satu ayat dari draft UU yang telah disahkan saat draft tersebut diserahkan ke Seskab untuk disahkan oleh Presiden. Beberapa pihak melihat hal tersebut terjadi akibat adanya 'permainan' pihak pengusaha tembakau yang tidak menginginkan kebijakan tersebut. Seperti yang dikutip dari laman resmi mahkamah konstitusi.

Undang-Undang Nomor 36 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (21/6), pada sidang Panel yang berlangsung di Ruang Sidang Panel Gedung MK. Permohonan diajukan oleh 12 (dua belas) orang Pemohon. Mereka semua berprofesi sebagai petani tembakau yang merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar. Para Pemohon yakni Nurtanto Wisnu Brata, Amin Subarkah, Abdul Hafidz, Thalabudin Muslim, M. Tafri, Parmuji, Timbul, Supriyadi, Salim, Suparno, Suryadi dan Hodri.

Melalui kuasa hukumnya, A.H. Wakil Kamal, dkk, Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan akibat adanya norma dalam Pasal 113 ayat (2) sepanjang frasa “...tembakau, produk yang mengandung tembakau,...”, Pasal 114 serta penjelasannya dan Pasal 199 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 27, 28A, 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2).

Menurut Wakil, Grand design pengaturan tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) menjadi satu-satunya yang mengandung zat adiktif, sarat dengan motif ekonomi demi kepentingan kapitalis asing. “Sementara produk rokok kretek yang merupakan satu-satunya produk asli di Indonesia tidak dapat diekspor ke Amerika Serikat dan petani tembakau di Indonesia terus menurun produksinya,” jelasnya.

Sementara itu, lanjut Wakil, tembakau dan rokok putih dari Amerika Serikat semakin bebas merajalela masuk ke Indonesia. Wakil mengemukakan bahwa Pemerintah selama ini telah mendapatkan pemasukan dari cukai rokok sekitar Rp 57 triliun, tetapi pada kenyataannya Pemerintah tak pernah acuh terhadap industri rokok dalam negeri. Para Pemohon menilai ketentuan tersebut sangat tidak jelas sehingga tidak memberikan jaminan penghidupan yang layak dan tidak ada jaminan kepastian hukum yang adil bagi para petani tembakau, dan norma tersebut sangat diskriminatif bagi para petani tembakau yang terlanjur mendapatkan stigma negatif, berbeda perlakuan terhadap petani anggur, kopi, teh dan lain sebagainya.

“Mengapa hanya rokok yang diatur secara eksplisit dalam Pasal 114 dan Pasal 199 ayat (1), jelas-jelas pula tidak memberikan jaminan penghidupan yang layak, dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil, dan cenderung diskriminantif terlanjur pula mendapatkan stigma negatif dibandingan dengan kelompok orang yang terlibat dalam produksi kopi, teh, wine dan lain sebagainya? Kenapa tidak ada aturan yang mengharuskan produk kopi atau teh harus dicantumkan peringatan kesehatan juga?” ungkapnya.

Menurutnya, Pasal 114 juncto Penjelasan Pasal 114 juncto Pasal 199 ayat (1) UU Kesehatan, tidak memiliki argumentasi dan logika hukum yang kuat, mengapa harus mengatur keharusan untuk mencantumkan ‘peringatan kesehatan’. ”Padahal perihal ‘peringatan kesehatan’ itu tidak hanya berlaku bagi rokok, tapi seharusnya juga berlaku bagi makanan dan minuman lain yang mengandung zat adiktif yang bisa/dapat mengancam kesehatan,” ujarnya.

Sedangkan mengenai Ketentuan pidana berlaku ketika rokok tidak mencantumkan ‘peringatan kesehatan’, jelas Wakil, juga tidak memiliki alasan/argumentasi dan logika hukum yang kuat. Hal ini karena ancaman kesehatan produk makanan/minuman lain yang juga dapat/bisa mengancam kesehatan tidak mendapatkan pidana seberat apa yang diatur dalam Pasal 199 ayat (1) UU Kesehatan.

Para Pemohon menganggap ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun dalam Ketentuan Pasal 199 ayat (1) UU Kesehatan jelas-jelas berlebihan, karena krimanalisasi terhadap persoalan adminstratif semata, apalagi rokok merupakan barang legal di Indonesia. “Di samping itu frasa ‘…..berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114…” sangat berbeda dengan ketentuan Pasal 114 UU kesehatan, karena ketentuan Pasal 144 UU Kesehatan menentukan bahwa peringatan kesehatan adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya, sedangkan dalam ketentuan dalam Pasal 199 ayat (1) hanya berbentuk gambar. Jadi rumusan Pasal 199 ayat (1) tidak sempurna, karena tidak jelas dan tegas sesuai prinsip lex certa yang menjadi asas hukum pidana, sehingga tidak memberikan kepastian hukum yang adil,” urainya.

Majelis Hakim Panel Konstitusi yang terdiri dari Harjono sebagai Ketua Panel dan Maria Farida Indrati serta M. Arsyad Sanusi sebagai Anggota Panel, menjelaskan bahwa permohonan Pemohon mengujikan pasal yang sama dalam UU Kesehatan yakni perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 yang diujikan oleh Bambang Sukarno.

“Perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 sudah sampai pada sidang mendengarkan keterangan saksi. Mungkin Pemohon bisa mempertimbangkan untuk bergabung dengan perkara tersebut karena pasal yang diujikan sama. Nantinya Putusan yang akan dikeluarkan MK untuk perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 akan berpengaruh pada permohonan Pemohon,” tutur Harjono.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyarankan agar Pemohon jangan terlalu banyak bertanya dalam permohonan. “Para Pemohon mengajukan permohonan ke MK dengan tujuan untuk menguatkan apa yang diyakini Pemohon kepada Majelis Hakim Konstitusi, bukan untuk mempertanyakan kepada Majelis Hakim Konstitusi,” tegasnya.

Untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan saran Majelis, Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya


Notaris sebagai bagian hukum saat ini mendapat aturan baru mengenai batasan usia. Hal ini ditegaskan dalam keputusan MK pada September 2010. Keputusan tersebut sebelumnya tertuang dalam UU nomor 30 tahun 2004. Berikut berita resmi dari situs MKRI.

Undang-Undang (UU) No.30/2004 tentang Jabatan Notaris diujikan di MK, Kamis (23/9/2010). Ketentuan yang menyebutkan batas umur sampai 67 tahun dalam bunyi Pasal 4, dimintakan diubah. Pemohonnya adalah Anthony Saga Widjaya, seorang notaris di Tuban, Jatim.

Perkara 52/PUU-VIII/2010 ini diketuai Muhammad Alim dan didampingi Achmad Sodiki serta Hamdan Zoelva. Sidang yang dimulai pukul 09.30 WIB tersebut mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan.

Dalam persidangan, Anthony meminta beberapa opsi perubahan bunyi Pasal 4 UU a quo. Di antaranya, meminta batas umur hingga 70 tahun. Jika tidak, opsi lain adalah batas umur 67 tahun tapi dapat diperpanjang setiap 2 tahun. Alternatif lain, batas umur sampai 70 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi. Total ada enam petitum yang dimohonkan Anthony.

Mendengar penuturan Anthony, Hakim Panel menasehati bahwa kewenangan MK bukanlah mengatur ketentuan batas umur. “MK wewenangnya hanya sampai mengujikan UU dan tidak berwenang memerintahkan membuat ketentuan UU. Menaikkan umur berarti membuat aturan baru,” tutur Sodiki.

Sementara Hamdan Zoelva mengingatkan Pemohon agar merenungkan kembali permohonannya. “Ini sidang Panel kedua, setelah ini tidak ada lagi perubahan permohonan. Penting direnungkan, apakah meneruskan atau menarik kembali permohonan,” kata Hamdan. Ia menambahkan jika beberapa petitum Pemohon di luar kewenangan MK.

Meski demikian, Anthony tetap percaya diri meneruskan permohonannya. “Permohonan ini akan saya lanjutkan hingga ada putusan MK,” respon Anthony menanggapi nasehat Hakim Panel


Konflik atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan pihak pemerintah terjadi semakin tegang. Terasa konflik tersebut membentuk 2 fraksi, yaitu antara MK yang didukung DPR, melawan Pemerintah yang didukung Kejaksaan. Bagaimana sebenarnya keputusan tersebut lahir? Berikut tulisan yang diperoleh dari website resminya.

Legalitas Jaksa Agung yang dijabat Hendarman Supandji saat ini ramai dibincang banyak orang, menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, telah termaktub dalam putusan MK tentang UU Kejaksaan. “Lihatlah paragraf 3.18, 3.28, 3.30, dan 3.31 putusan MK, jangan tidak baca putusan MK lalu komentar sana-sini,” kata Mahfud kepada wartawan Jumat (24/9) di ruang kerjanya.

“Mengapa dalam amar putusan tidak tegas menyebutkan masa jabatan Hendarman Supandji harus berakhir?” tanya salah seorang wartawan. Mahfud pun menegaskan judicial review itu hanya menguji norma, bukan menguji orang. “Tapi putusan ini punya konsekuensi langsung terhadap keharusan memberhentikan Hendarman,” terang Mahfud.
Secara konstitusional seharusnya jabatan Hendarman berakhir 20 Oktober 1999. “Tapi karena aturan itu semula tidak jelas, kita tolerir hingga adanya putusan kemarin,” kata Mahfud lagi. Ditambahkan, kalau putusan ini tidak dilaksanakan, terserah. “Itu bukan urusan MK,” tegasnya.
Mahfud hanya mengingatkan bahwa putusan MK lebih tinggi dari Keppres. “Keppres harus mengikuti putusan MK,”