Draft Undang-undang (UU) Tembakau yang telah ditetapkan oleh pemerintah bersama DPR ternyata meninggalkan masalah setelahnya. Hal ini pertama kali diamati oleh anggota Fraksi Demokrat. Beliau mengamati terjadinya penghilangan satu ayat dari draft UU yang telah disahkan saat draft tersebut diserahkan ke Seskab untuk disahkan oleh Presiden. Beberapa pihak melihat hal tersebut terjadi akibat adanya 'permainan' pihak pengusaha tembakau yang tidak menginginkan kebijakan tersebut. Seperti yang dikutip dari laman resmi mahkamah konstitusi.

Undang-Undang Nomor 36 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (21/6), pada sidang Panel yang berlangsung di Ruang Sidang Panel Gedung MK. Permohonan diajukan oleh 12 (dua belas) orang Pemohon. Mereka semua berprofesi sebagai petani tembakau yang merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar. Para Pemohon yakni Nurtanto Wisnu Brata, Amin Subarkah, Abdul Hafidz, Thalabudin Muslim, M. Tafri, Parmuji, Timbul, Supriyadi, Salim, Suparno, Suryadi dan Hodri.

Melalui kuasa hukumnya, A.H. Wakil Kamal, dkk, Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan akibat adanya norma dalam Pasal 113 ayat (2) sepanjang frasa “...tembakau, produk yang mengandung tembakau,...”, Pasal 114 serta penjelasannya dan Pasal 199 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 27, 28A, 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2).

Menurut Wakil, Grand design pengaturan tembakau dalam Pasal 113 ayat (2) menjadi satu-satunya yang mengandung zat adiktif, sarat dengan motif ekonomi demi kepentingan kapitalis asing. “Sementara produk rokok kretek yang merupakan satu-satunya produk asli di Indonesia tidak dapat diekspor ke Amerika Serikat dan petani tembakau di Indonesia terus menurun produksinya,” jelasnya.

Sementara itu, lanjut Wakil, tembakau dan rokok putih dari Amerika Serikat semakin bebas merajalela masuk ke Indonesia. Wakil mengemukakan bahwa Pemerintah selama ini telah mendapatkan pemasukan dari cukai rokok sekitar Rp 57 triliun, tetapi pada kenyataannya Pemerintah tak pernah acuh terhadap industri rokok dalam negeri. Para Pemohon menilai ketentuan tersebut sangat tidak jelas sehingga tidak memberikan jaminan penghidupan yang layak dan tidak ada jaminan kepastian hukum yang adil bagi para petani tembakau, dan norma tersebut sangat diskriminatif bagi para petani tembakau yang terlanjur mendapatkan stigma negatif, berbeda perlakuan terhadap petani anggur, kopi, teh dan lain sebagainya.

“Mengapa hanya rokok yang diatur secara eksplisit dalam Pasal 114 dan Pasal 199 ayat (1), jelas-jelas pula tidak memberikan jaminan penghidupan yang layak, dan tidak memberikan kepastian hukum yang adil, dan cenderung diskriminantif terlanjur pula mendapatkan stigma negatif dibandingan dengan kelompok orang yang terlibat dalam produksi kopi, teh, wine dan lain sebagainya? Kenapa tidak ada aturan yang mengharuskan produk kopi atau teh harus dicantumkan peringatan kesehatan juga?” ungkapnya.

Menurutnya, Pasal 114 juncto Penjelasan Pasal 114 juncto Pasal 199 ayat (1) UU Kesehatan, tidak memiliki argumentasi dan logika hukum yang kuat, mengapa harus mengatur keharusan untuk mencantumkan ‘peringatan kesehatan’. ”Padahal perihal ‘peringatan kesehatan’ itu tidak hanya berlaku bagi rokok, tapi seharusnya juga berlaku bagi makanan dan minuman lain yang mengandung zat adiktif yang bisa/dapat mengancam kesehatan,” ujarnya.

Sedangkan mengenai Ketentuan pidana berlaku ketika rokok tidak mencantumkan ‘peringatan kesehatan’, jelas Wakil, juga tidak memiliki alasan/argumentasi dan logika hukum yang kuat. Hal ini karena ancaman kesehatan produk makanan/minuman lain yang juga dapat/bisa mengancam kesehatan tidak mendapatkan pidana seberat apa yang diatur dalam Pasal 199 ayat (1) UU Kesehatan.

Para Pemohon menganggap ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun dalam Ketentuan Pasal 199 ayat (1) UU Kesehatan jelas-jelas berlebihan, karena krimanalisasi terhadap persoalan adminstratif semata, apalagi rokok merupakan barang legal di Indonesia. “Di samping itu frasa ‘…..berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114…” sangat berbeda dengan ketentuan Pasal 114 UU kesehatan, karena ketentuan Pasal 144 UU Kesehatan menentukan bahwa peringatan kesehatan adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya, sedangkan dalam ketentuan dalam Pasal 199 ayat (1) hanya berbentuk gambar. Jadi rumusan Pasal 199 ayat (1) tidak sempurna, karena tidak jelas dan tegas sesuai prinsip lex certa yang menjadi asas hukum pidana, sehingga tidak memberikan kepastian hukum yang adil,” urainya.

Majelis Hakim Panel Konstitusi yang terdiri dari Harjono sebagai Ketua Panel dan Maria Farida Indrati serta M. Arsyad Sanusi sebagai Anggota Panel, menjelaskan bahwa permohonan Pemohon mengujikan pasal yang sama dalam UU Kesehatan yakni perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 yang diujikan oleh Bambang Sukarno.

“Perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 sudah sampai pada sidang mendengarkan keterangan saksi. Mungkin Pemohon bisa mempertimbangkan untuk bergabung dengan perkara tersebut karena pasal yang diujikan sama. Nantinya Putusan yang akan dikeluarkan MK untuk perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 akan berpengaruh pada permohonan Pemohon,” tutur Harjono.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyarankan agar Pemohon jangan terlalu banyak bertanya dalam permohonan. “Para Pemohon mengajukan permohonan ke MK dengan tujuan untuk menguatkan apa yang diyakini Pemohon kepada Majelis Hakim Konstitusi, bukan untuk mempertanyakan kepada Majelis Hakim Konstitusi,” tegasnya.

Untuk memperbaiki permohonannya sesuai dengan saran Majelis, Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya

0 komentar:

Posting Komentar